Balon udara ponorogo

 Balon Lebaran Ponorogo merupakan salah satu tradisi yang tetap lestari hingga saat ini di Ponorogo, Jawa Timur yang berlangsung pada setiap Lebaran Idulfitri bulan Syawal pada kalender Hijriah.[1] Tradisi menerbangkan balon lebaran di Ponorogo telah lestari dan menjadi tradisi lebih dari 500 Tahun.


Masyarakat Ponorogo awalnya menyebut tradisi Balon Lebaran dengan "umbulan" atau "ombolan" yang berarti menerbangkan seperti bulan, dengan perkembangan zaman kini disebut Balon.


Balon Lebaran Ponorogo telah berlangsung sejak abad ke-15 tepatnya tahun 1496 M yang pada awalnya merupakan tradisi masyarakat Ponorogo yang kala itu beragama Buddha, tradisi menerbangkan balon di wengker telah ada pada abad ke 7 sejak zaman Sriwijaya hingga Medang sebelum masuknya islam di Ponorogo.[2]

Bathara Katong selaku pendakwah islam dan bupati pertama di Ponorogo kala itu mengubah tradisi tradisi menerbangkan balon yang biasa digunakan umat Buddha Ponorogo menjadi balon yang bernafaskan islami dengan di terbangkannya setiap idul fitri, yang pada awalnya sebagai penghormatan kepada ki ageng kutu surya alam untuk mengurangi gejolak masyarakat Ponorogo atas gugurnya pimpinannya.


Balon Lebaran Ponorogo di buat dari bahan kertas, mengingat Ponorogo sejak abad ke 7 sudah mampu membuat kertas sendiri. kertas-kertas tersebut di rangkai dan di sambungkan satu sama lain menggunakan putih kulit telur ataupun nasi yang di rangkai menjulang yang di rekatkan bambu atau rotan berbentuk lingkaran kemudian diberi tali untuk mengikat sebuah tempat menaruh minyak, Balon di buat berukuran antara 1,5 Meter hingga 4 Meter.

Menerbangkan Balon Lebaran

Sunting

Menerbangkan balon lebaran tidak dilakukan seorang diri, melainkan satu balon diterbangkan oleh 5 orang hingga puluhan tergantung kecil besarnya balon yang mencerminkan gotong royong.[3]


Sebelum di terbangkannya balon, di bentuk sebuah musyawarah disetiap kekerabatan maupun RT, RW, Kedukuhan, kedusunan hingga Desa Kelurahan yang tidak terikat dengan kelompok apapun. Kegiatan musyawarah ini bertujuan untuk membahas menerbangkan balon sebelum bulan puasa tentang bahan apa saja yang digunakan, ukuran berapa meter, berapa balon yang akan dibuat, siapa yang membuat, siapa yang menyediakan bahan, siapa yang mencari bahan untuk membuat api, siapa yang menerbangkan balon.

Biasanya apabila sudah jadi, balon akan di terbangkan di biarkan polos atau di beri identitas dukuh atau desa yang membuat sebagai kebanggaan, balon diterbangkan oleh banyak orang dengan membakar daun kelapa atau tanaman padi yang telah kering dengan membutuhkan 5 hingga 30 menit untuk menerbangkan balon ke udara.


Balon Lebaran akan mengudara 1 hingga 3 hari tergantung persediaan bahan bakar minyak yang di tampung di bawah balon, apabila balon turun dan jatuh karena kehabisan minyak maka sudah menjadi tanggung jawab dan etika sosial warga setempat untuk menerbangkan kembali balon lebaran tersebut, biasanya di terbangkan kembali menjelang maghrib.

Biasanya ribuan Balon Lebaran Ponorogo sudah menghiasai langit di wilayah Ponorogo maupun kotakota yang berbatasan langsung dengan Ponorogo ketika orang-orang islam melaksanakan shalat idul fitri, jumlah yang banyak di karenakan terkadang setiap kelompok menerbangkan balon 1 hingga 3 buah balon.


Namun ada kelompok yang sudah menerbangkan balon ketika memasuki lailatul qodar, puncaknya ketika akhir ramadhan sudah banyak balon udara yang beterbangan sebagai tanda bahwa besok adalah 1 syawal.

Filosofi

Sunting

Nilai filosofi kehidupan yang ada pada Balon Lebaran Ponorogo adalah Balon yang di terbangkan oleh banyak orang secara gembira menggunakan api sehingga dapat menerbangkan balon hingga ke awan yang menghitam karena asap yang berarti dosa bermakna manusia selama hidup tidak lupat dari melakukan kesalahan dan dosa, sehingga dalam ajaran Islam bahwa idul fitri adalah waktu dimana manusia kembali suci dan diampuninya kesalahan dan dosa seperti bayi yang baru lahir.

Komentar